music

Friday, 21 April 2017

TUGAS KE 2 PSIKOLOGI TERAPI

TUGAS KE 2

1.        LOGOTERAPI
a.       Konsep Dasar Pandangan Frankl Tentang Kepribadian
Pandangan Frankl tentang kesehatan psikologis menekankan pentingnya kemauan akan arti. Tentu saja ini merupakan kerangka, di dalamnya segala sesuatu yang lain diatur. Frankl berpendapat  manusia harus dapat menemukan makna hidupnya sendiri dan setelah menemukan lalu mencoba untuk memenuhinya. Bagi Frankl setiap kehidupan mempunyai makna, dan kehidupan itu adalah suatu tugas yang harus dijalani. Mencari makna dalam hidup inilah prinsip utama teori Frankl Logoterapi. Logoterapi memiliki tiga konsep dasar, yakni:
1)        Kebebasan berkehendak (Freedom of Will)
Dalam pandangan logoterapi, manusia adalah mahluk yang istimewa karena mempunyai kebebasan. Kebebasan yang dimaksud dalam freedom of will seperti:
- Kebebasan yang bertanggung jawab.
- Kebebasan untuk mengambil sikap (freedom to take a stand) atas
  kondisi-kondisi tersebut.
-  Kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang dianggap penting dalam hidupnya.
2)        Kehendak Hidup Bermakna (The Will to Meaning)
Konsep keinginan kepada makna (the will to meaning) inilah menjadi motivasi utama kepribadian manusia (Frankl, 1977). Dalam psikoanalisa memandang manusia adalah pencari kesenangan. Pandangan psikologi individual bahwa manusia adalah pencari kekuasaan. Menurut logoterapi bahwa kesenangan merupakan efek dari pemenuhan makna, sedangkan kekuasaan merupakan prasyarat bagi pemenuhan makna. Mengenal makna, menurut Frankl bersifat menarik dan menawari bukannya mendorong. Karena sifatnya menarik maka individu termotivasi untuk memenuhinya. Agar individu menjadi individu yang bermakna, maka melakukan berbagai kegiatan yang syarat dengan makna.
3)        Makna Hidup (The Meaning Of Life)
Makna yaitu suatu hal yang didapat dari pengalaman hidupnya baik dalam keadaan senang maupun dalam penderitaan. Makna hidup dianggap identik dengan tujuan hidup. Makna hidup bisa berbeda antara satu dengan yang lainya dan berbeda setiap hari, bahkan setiap jam. Karena itu, yang penting secara umum bukan makna hidup, melainkan makna khusus dari hidup pada suatu saat tertentu. Setiap individu memiliki pekerjaan dan misi untuk menyelesaikan tugas khusus. Dalam kaitan dengan tugas tersebut dia tidak bisa digantikan dan hidupnya tidak bisa diulang. Karena itu, manusia memiliki tugas yang unik dan kesempatan unik untuk menyelesaikan tugasnya (Frankl, 2004).
b.      Unsur terapi
1)        Munculnya Gangguan
Saat individu tidak memiliki keinginan terhadap sesuatu (apapun), karena keinginan akan mendorong setiap manusia untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya di rasakan berarti dan berharga. Menurut Frankl (2004) terdapat dua tahapan pada sindroma ketidakbermaknaan, yaitu:
a)        Frustasi eksistensial (exsistential frustration) atau disebut juga kehampaan eksistensial (exsistetial vacuum). Menurut Koesworo (1992) exsistential frustration adalah fenomena umum yang berkaitan dengan keterhambatan atau kegagalan individu dalam memenuhi keinginan akan makna.
b)        Neurosis noogenik (noogenic neuroses)
Yaitu gangguan neurosis yang disebabkan tidak terpenuhinya hasrat untuk hidup bermakna. Frankl menggunakan istilah ini untuk membedakan dengan keadaan neurosis somatogenik, yaitu neurosis yang berakar pada kondisi fisiologis tertentu atau gangguan perasaan yang berkaitan dengan ragawi dan neurosis psikogenik yaitu neurosis yang bersumber pada konflik-konflik psikologis atau gangguan perasaan yang berasal dari hambatan-hambatan psikis.
2)        Tujuan Terapi
• Memahami adanya potensi dan sumber daya rohaniah yang secara        
  universal ada pada setiap orang terlepas dari ras, keyakinan, dan agama yang dianutnya.
• Menyadari bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan,  
terhambat, dan diabaikan, bahkan terlupakan.
• Memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari
penderitaan untuk mampu tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna
3)        Peran terapis
a)        Terapis harus menunjukkan kepada klien bahwa setiap manusia mempunyai tujuan yang unik yang dapat tercapai dengan suatu cara tertentu.
b)        Terapis berusaha membuat klien menyadari secara penuh tanggung jawab dirinya dan memberinya kesempatan untuk memilih, untuk apa, kepada apa, atau kepada siapa dia harus bertanggung jawab.
c)        Terapis tidak tergoda untuk menghakimi klien-kliennya, karena dia tidak pernah membiarkan seorang klien melemparkan tanggung jawab kepada terapis untuk menghakiminya.
c.       Teknik-teknik terapi
1)        Teknik Intensi Paradoksikal (Perlawanan Terhadap Niat)
Teknik ini didasarkan pada dua fakta, yaitu
a)        rasa takut bisa menyebabkan terjadinya hal yang ditakutkan
b)        keinginan yang berlebihan bisa membuat keingginan tersebut tidak terlaksana.

Dalam kasus-kasus fobia, teknik ini berusaha mengubah sikap penderita yang semula serba takut menjadi akrab dengan objek yang justru ditakutinya. Sedangkan pada kasus-kasus obsesi dan kompulsi, yang biasanya penderita menahan dan mengendalikan secara ketat dorongan-dorongan agar tidak muncul, penderita justru diminta untuk secara sengaja mengharapkan agar dorongan-dorongan itu benar-benar mencetus.
Intensi paradoksikal juga dapat diterapkan kepada penderita insomnia. Rasa takut tidak bisa tidur memicu keinginan berlebihan untuk tidur, yang malah membuat pasien malah tidak bisa tidur. Untuk mengatasi ketakutan ini, biasanya Frankl menganjurkan si pasien untuk mencoba tidak tidur, tetapi melakukan yang sebaliknya, artinya berusaha sebisa mungkin untuk tetap bangun. Dengan kata lain, keinginan yang sangat besar untuk tidur yang muncul akibat rasa cemas yang diantisipasi bahwa dia tidak bisa tidur, harus diganti dengan keinginan sebaliknya untuk tidak tidur, akibatnya si pasien akan segera tertidur. Selain itu, teknik ini mempunyai keterbatasan yang perlu diperhatikan, yakni mempunyai kontra indikasi dengan depresi, terutama kasus depresi dengan kecenderungan bunuh diri. Maksudnya, bila teknik ini diterapkan pada kasus depresi dengan keinginan bunuh diri, maka kemungkinan besar justru akan mendorong penderita untuk benar-benar melakukan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, jangan sekali-kali menerapkan teknik ini untuk kasus depresi.
2)        Derefleksi
Seperti halnya intensi paradoksikal, teknik derefleksi pun memanfaatkan kualitas-kualitas insani dalam gangguan neurosis. Bedanya, jika intensi paradoksikal memanfaatkan kemampuan mengambil jarak terhadap diri sendiri dan seakan-akan memandangnya dari luar, maka derefleksi memanfaatkan kemampuan transedensi diri yang ada dalam diri setiap orang.
Frankl kemudian mengatakan bahwa refleksi berlebihan bisa diatasi dengan teknik derefleksi. Sebab, jika intensi paradoksikal dirancang untuk mengatasi kecemasan antisipatori, derefleksi dirancang untuk bisa mengatasi kompulsi kepada observasi diri atau pemaksaan ke arah pengamatan diri sendiri. Dengan demikian, jika intensi paradoksikal menggunakan pola right passivity, derefleksi menggunakan pola right activity.
3)        Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani merupakan salah satu teknik logoterapi yang mula-mula banyak diterapkan dalam dunia medis, khusunya untuk kasus-kasus somatogenik. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, prinsip-prinsip ini diamalkan juga oleh profesi lain dalam kasus-kasus tragis non-medis yang tak dapat dihindari lagi. Pendekatan ini memanfaatkan kemampuan insani untuk mengambil sikap terhadap keadaan diri sendiri dan keadaan lingkungan yang tak mungkin diubah lagi. Bimbingan rohani kiranya dapat dilihat sebagai ciri paling menonjol dari logoterapi sebagai psikoterapi berwawasan spiritual. Sebab, bimbingan rohani merupakan metode yang secara eksklusif diarahkan pada unsur rohani atau roh, dengan sasaran penemuan makna oleh individu atau klien melalui realisasi nilai-nilai bersikap. Jelasnya, bimbingan rohani merupakan metode yang khusus digunakan pada penangan kasus dimana individu dalam penderitaan karena penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau nasib buruk yang tidak mampu lagi untuk berbuat selain menghadapi penderitaan itu.
Melalui bimbingan rohani, individu yang menderita didorong ke arah merealisasi nilai-nilai bersikap, menunjukkan sikap positif terhadap penderitaannya, sehingga ia bisa menemukan makna dibalik penderitaannya.

4)        Existential Analysis
Teknik ini sangat luas dan luwes, serta memberikan keleluasaan kepada para logoterapis untuk secara kreatif mengembangkan sendiri metode dan teknik-tekniknya.

2.        RATIONAL EMOTIVE THERAPY (ELLIS)
a.         Konsep dasar
Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional, yang mana emosi yang menyertai individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irasional.
Berpikir irasional ini diawali dengan belajar secara tidak logis yang biasanya diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan kata-kata yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
1)             Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
2)             Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
3)             Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
Selain itu, Ellis juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus me­lawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psi­kologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.
Sebagai contoh, “orang depresi merasa sedih dan ke­sepian karena dia keliru berpikir bahwa dirinya tidak pantas dan merasa tersingkir”. Padahal, penampilan orang depresi sama saja dengan orang yang tidak mengalami depresi. Jadi, Tugas seorang terapis bukanlah menyerang perasaan sedih dan kesepian yang dialami orang depresi, melainkan me­nyerang keyakinan mereka yang negatif terhadap diri sendiri. Walaupun tidak terlalu penting bagi seorang terapis mengetahui titik utama keyakinan-keyakinan irasional tadi, namun dia harus mengerti bahwa keyakinan tersebut adalah hasil “pengondisian filosofis”, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang muncul secara otomatis, persis seperti kebiasaan kita yang langsung mengangkat dan menjawab telepon setelah mendengarnya berdering.
b.         Unsur-unsur
1)        Tujuan Terapi
Dalam kontek teori kepribadian, tujuan konseling merupakan efek (E) yang diharapkan terjadi setelah dilakukan intervensi oleh konselor (desputing/D). oleh karena itu teori TRE tentang kepribadian dalam formula A-BC dilengkapi pleh Ellis sebagai teori konseling menjadi A-B-C-D-E (antecedent event, belief, emotional consequence, desputing, dan effect). Efek yang dimaksud adalah keadaan psikologis yang diharapkan terjadi pada klien setelah mengikuti proses konseling.
2)        Peranan dan fungsi terapi
Aktivitas-aktivitas terapeutik utama TRE dilaksanakan dengan satu maksud utama, yaitu membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasangagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis debagai penggantinya. Sasarannya adalah menjadikan klien menginternalisasi suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dagmatis yang irasional dan tahayul yang berasal dari orangtuanya maupun dari kebudayaannya.
3)        Hubungan antara terapi dan klien
Pola hubungan pada konseling ini berbeda denagn sebagian besar bentuk terapi yang lain. ide dasar pengembangan hubungan adalah menolong klien dalam hal menghindari sifat mengutuk diri sendiri. Disini terapis harus menunjukkan sifat penerimaan mereka secara penuh,tidak ada hubungan yang membertikan arti utama paad kehangatan pribadi dan pengertian empatik, dengan asumsi empatik bisa menjadi kontra produktif karena bisa memupuk rasa ketergantungan. Tetpi terapis menekankan hubungan saling mengerti dan membangun kerjasama dan terapis biasanya sanagt terbuka dan langsung dalam mengungkapkan keyakinan dan nilai mereka sendiri.
c.         Teknik-teknik terapi
1)        Teknik emotif (afektif)
a)        Teknik Assertive Training , yaitu teknik yang digunakan untuk melatih, medorong dan membiasakan klien untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan perilaku tertentu yang diinginkan.
b)        Teknik sosiodrama, yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan negatif) melalui suasana yang didramatisasikan.
c)        Teknik self modeling atau diri sebagai model, yakni teknik yang digunakan untuk meminta klien agar berjanji atau mengadakan komitmen dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu.
d)       Teknik imitasi, yakni teknik yang digunakan dimana klien diminta untuk menirukan secara terus menerus soal model perilaku tertentu dengan maksud menhadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.

2)        Teknik Behavioristik
a)        Teknik reinforcement / penguatan, yaitu teknik yang digunakan untuk mendorong klien kearah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun punishment/ hukuman.
b)        Teknik social modeling/ penguatan modeling, yakni teknik yang digunakan untuk memberikan perilaku-perilaku baru kepada klien.
c)        Teknik live models/ model dari kehidupan nyata, yang digunakan untuk menggambarkan perilaku tertentu.


3)        Teknik-teknik kognitif
a)        Home work assigments/ pemberian tugas rumah , klien diberikan tugas rumah untuk berlatih, membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menurut pola perilaku yang diharapkan.
b)        Teknik Assertive, teknik yang digunakan untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan perilaku tertentu yang diharapkan melalui role playing atau bermain peran.
c)        Bibliotherapy, teknik yang digunakan untuk membalikkan pola pikir irasional dan ketidaklogisan dalam diri konselin yang menyebabkan permasalahan lewat buku-buku. Konselor memilih buku-buku bacaan yang sekiranya dapat membantu konseli dalam mengubah pola pikir irasional menjadi rasional.

3.        TERAPI KELOMPOK (GROUP THERAPY)
a.       Konsep dasar
Kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan serta mempunyai norma yang sama. Kelompok terapeutik memberi kesempatan untuk saling bertukar (sharing) tujuan, misalnya membantu individu yang berperilaku destruktif dalam berhubungan dengan orang lain, mengidentifikasi dan memberikan alternatif untuk membantu merubah perilaku destruktif menjadi konstruktif.
Menurut Yosep (2007), terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih. Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal.
Terapi kelompok mirip dengan masalah-masalah yang ditangani oleh terapi individu seperti konseling. Yang membedakan dengan terapi individu adalah pendekatannya. Terapi kelompok tidak menggunakan pendekatan yang bersifat perseorangan, melainkan menggunakan kelompok sebagai media penyembuhan. Individu-individu yang mengalami masalah sejenis disatukan dalam kelompok penyembuhan dan kemudian dilakukan terapi dengan dibimbing atau didampingi oleh terapis. Oleh karena itu perlu diperhatikan mengenai komponen kelompok dalam terapi kelompok. Dalam Sari (2015) menyebutkan komponen tersebut antara lain:
a)      Struktur kelompok
Stuktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam elompok diatur dengan adanya pimpinan dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.
b)      Besar kelompok
Menurut Wartono (dalam Yosep, 2007), jumlah ideal anggota kelompok adalah tujuh sampai delapan orang. Jumlah minimum angota kelompok berkisar empat dan jumlah maksimun adalah sepuluh orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidka semua anggota kelompok memndapatkan kesempatan mengungkapkan perasaan, mengemukakan pendapat dan pengalamannya. Jika terlalu kecil makan tidak cukup variasi informasi dan intreaksi yang terjadi.
c)      Lamanya sesi
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit untuk fungsi terapi reandah, dan 60-120 menit untuk fungsi kelompok yang tinggi. Frekuensi pertemuan dapat disesuaian dengan tujuan kelompok, dapat satu kali atau dua kali per minggu atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan.
d)     Komunikasi
Salah satu tugas pemimpin kelompok yang terpenting adalah mengobservasi dan mengalisis pola komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan umpan balik untuk memberikan kesadaran pada anggota kelompok terhadap dinamika yang trejadi. Pemimpin kelompok dapat mengkaji hambatan dalam kelompok, konflik interpersonal, tingkat kompetis, dan seberapa jauh anggota kelompok mengerti serta melaksanakan kegiatan.
e)      Peran kelompok
Pemimpin (leader) harus memiliki kemampuan dalam proses yang terjadi pada kelompok, seperti adanya interupsi, peningkatan intonasi suara, sikap menghakimi antara anggota kelompok selama interaksi berlangsung. Dengan kata lian, pemimpin harus peka terhadap adanya konflik yang mungkin terjadi di dalam kelompok.
f)       Kekuatan kelompok
Kekuatan kelompok adalah kemampuan anggota dalam memmpengaruhi jalannya kegiatan kelompok. Untuk menetapkan kekuatan kelompok yang bervariasi diperlukan kajian siapa yang paling banyak mendengar siapa yang membuat keputusan dalam kelompok.
g)      NormaNorma adalah standar perilaku dalam kelompok. Pengharapan terhadap perilaku kelompok pada masa yang akan datang berdasarkan pada pengalaman masa lalu dan saat ini. Pemahaman tentang norma berguna untuk mngetahui pengaruhnya terhadap komunikasi dan interaksi dalam kelompok.
h)      Kekohesifan
Kekohesifan adalah kekuatan antar anggota kelompok bekerjasama dalam mencapai tujuan. Hal ini mempengaruhi anggota kelompok untuk tertarik dan puas terhadap kelompoknya. Terapis perlu melakukan upaya agar kekohesifan kelompok dapat terwujud, selain mengelompokan anggota yang memiliki masalah yang sama. Terapis juga menciptakan kekohesifan dengan cara mendorong kelompok untuk berbicara satu sama lain. Kekohesifan dapat diukur melalui seberapa sering antar anggota memberi pujian dan mengungkapkan kekaguman satu sama lain.
b.         Unsur-unsur
1)      Munculnya gangguan
Terapi kelompok digunakan ketika klien tidak berhasil dalam penanganan secara terapi individu.
2)      Tujuan terapi
a)      Meningkatkan identitas diri
b)      Menyalurkan emosi dna membagi perasaan antar sesama didalam kelompok terapis
c)      Meningkatkan keterampilan hubungan sosial
d)     Meningkatkan kemampuan hidup mandiri
3)      Peran terapis
Terapis harus memainkan peranan yang aktif dalam mendorong kelompok untuk mencapai tujuan atau harapannya.
c.         Teknik-teknik terapi
1)        Melibatkan para anggotanya untuk terbuka dan aktif
2)        Terapis turut membantu klien untuk melepaskan segala kecanggungannya, agar lebih bisa terbuka dan menceritakan masalah yang dialaminya.
3)        Berfokus pada satu topik permasalahan yang hendak diselesaikan pertama kali.

4.        TERAPI PERILAKU
a.         Konsep dasar
Terapi perilaku adalah terapi psikologis singkat bertarget yang lebih menangani gambaran terkiniberbagai gangguan ketimbangan, mengurusi perkembangan sebelumnya. Terapi ini didasarkanpada teori pembelajaran perilaku, yang selanjutnya didasarkan pada classical dan operant conditioning. Penilaian objektif berkelanjutan mengenai kemajuan pasien dibuat. Terdapat tiga perubahan dalam penerapan terapi perilaku, yaitu :
1)        Terapi perilaku yang fokus pada memodifikasi perilaku-perilaku tampak (overt behavior), yakni yang didasarkan pada prinsip dan prosedur clasical dan operant conditioning. Terdapat dua pendekatan yang terkenal yakni :
a)        applied behavior analysis (Skinner)
Pada pendekatan ini asumsi yang digunakan adalah perilaku merupakan fungsi dari konsekuensi (behavior is a function of its consequences). Prosedur yang digunakan berupa pemberian reinforcement, punishment, extinction dan stimulus control.
b)        Neobehavioristic mediational stimulus response (Mowrer & Miller).
Merupakan aplikasi dari konsep clasical conditioning. Pada pendekatan ini mulai disadari bahwa proses mental mempunyai pengaruh terhadap hukum belajar yang kemudian membentuk suatu perilaku. Model pendekatan Stimulus Respon menggunakan proses mediasional. Teknik-teknik yang digunakan berupa systematic desensitization dan flooding.
2)        Gerakan ke dua ialah Social-Cognitive theory yang diprakarsai oleh Bandura (1986). Ada 3 faktor yang terpisah namun saling membentuk sistem interaksi satu sama lainnya, yang berupa lingkungan (external stimulus events), penguatan (external reinforcement), dan proses kognitif (cognitive mediational processes). Social-Cognitive Theory beranggapan bahwa ketiga elemen tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu, dalam prosedur treatment yang menjadi fokus adalah individu itu sendiri sebagai agent of change. Aplikasi dari teori ini adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT).
3)        Gerakan ketiga dalam perkembangan terapi perilaku didasari oleh argumentasi Hayes (2004) yang mulai menggunakan konsep penerimaan (acceptance) yg merupakan proses aktif dari self-affirmation, menerima bukan berarti menyerah melainkan keberanian untuk mengalami/merasakan pikiran perasaan negatif.
a)        Dialectical Behaviora Therapy (DBT)
Terdapat dua konsep penting dalam penerapan DBT, yakni Acceptance and change dan Mindfullness.
b)        Acceptance and Commitment Therapy (ACT).
Sedangkan dalam Acceptance and Commitment Therapy mengkombinasikan prinsip-prinsip behaviorisme Skinner dengan faktor bahasa dan kognitif serta bagaimana ketiga faktor tersebut berpengaruh dalam psikopatologi. Terdapat empat konsep utama yakni:
·           Experiential avoidance. Mengacu pada proses mencoba untuk menghindari pengalaman pribadi negatif atau menyedihkan,
·           Acceptance. ACT dirancang untuk membantu klien belajar bahwa menghindari pengalaman adalah bukan solusi.
·           Cognitive Defusion. Konsep ini mengacu memisahkan pikiran dari orang lain yang dan apa yang kita pikirkan.
·           Commitment. ACT berfokus pada tindakan.
b.         Unsur-unsur
1)        Munculnya gangguan
Model humanistik kepribadian, psikopatologi, dan psikoterapi awalnya menarik sebagian besar konsep-konsep dari filsafat eksistensial, menekankan kebebasan bawaan manusia untuk memilih, bertanggung jawab atas pilihan mereka, dan hidup sangat banyak pada saat ini. Hidup sehat di sini dan sekarang menghadapkan kita dengan realitas eksistensial menjadi, kebebasan, tanggung jawab, dan pilihan, serta merenungkan eksistensi yang pada gilirannya memaksa kita untuk menghadapi kemungkinan pernah hadir ketiadaan. Pencarian makna dalam kehidupan masing-masing individu adalah tujuan utama dan aspirasi tertinggi. Pendekatan humanistik kontemporer psikoterapi berasal dari tiga sekolah pemikiran yang muncul pada 1950-an, eksistensial, Gestalt, dan klien berpusat terapi.
2)        Tujuan Terapi
-  Menyajikan kondisi-kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan.
- Menghapus penghambat aktualisasi potensi pribadi. Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dan memperluas kesadaran diri.
- Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab atas arah kehidupan sendiri.
3)        Peran Terapis
Menurut Buhler dan Allen, para ahli psikoterapi Humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut :
• Mengakui pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi
• Menyadari peran dan tanggung jawab terapis
• Mengakui sifat timbale balik dari hubungan terapeutik.
• Berorientasi pada pertumbuhan
• Menekankan keharusan terapis terlibat dengan klien sebagai suatu pribadi yang menyeluruh.
• Mengakui bahwa putusan-putusan dan pilihan-pilihan akhir terletak di tangan klien.
c.       Teknik-teknik
Lesmana (dalam Lubis, 2011) membagi teknik terapi behavioristik dalam dua bagian, yaitu teknik-teknik tingkah laku umum dan teknik-teknik spesifik. Uraiannya adalah sebagai berikut:
1)        Teknik-teknik Tingkah Laku Umum
Teknik ini terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya adalah:
a)        Skedul penguatan adalah suatu teknik pemberian penguatan pada klien ketika tingkah laku yang baru selesai dipelajari dimunculkan oleh klien. Penguatan harus dilakukan terus-menerus sampai tingkah laku tersebut terbentuk dalam diri klien. Setelah terbentuk, frekuensi penguatan dapat dikurangi atau dilakukan pada saat-saat tertentu saja (tidak setiap kali perilaku baru dilakukan). Shaping adalah teknik terapi yang dilakukan dengan mempelajari tingkah laku baru secara bertahap. Terapis dapat membagi-bagi tingkah laku yang ingin dicapai dalam beberapa unit, kemudian mempelajarinya dalam unit-unit kecil.
b)        Ekstingsi adalah teknik terapi berupa penghapusan penguatan agar tingkah laku maladaptif tidak berulang. Ini didasarkan pada pandangan bahwa individu tidak akan bersedia melakukan sesuatu apabila tidak mendapatkan keuntungan. Misalnya, seorang anak yang selalu menangis untuk mendapatkan yang diinginkannya. Terapis akan bertindak tidak memberi perhatian sehingga anak tersebut tidak akan menggunakan cara yang sama lagi untuk mendapatkan keinginannya.
2)        Teknik-teknik Spesifik
Teknik-teknik spesifik ini meliputi:
a)        Desentisasi Sistematik. Teknik ini adalah teknik yang paling sering digunakan. Teknik ini diarahkan kepada klien untuk menampilkan respons yang tidak konsisten dengan kecemasan. Desentisasi sistematik melibatkan teknik relaksasi di mana klien diminta untuk menggambarkan situasi yang paling menimbulkan kecemasan sampai titik di mana klien tidak merasa cemas. Selanjutnya, Wolpe (dalam Lubis, 2011) menyimpulkan bahwa ada tiga penyebab teknik desentisasi sistematik mengalami kegagalan, yaitu: (a)Klien mengalami kesulitan dalam relaksasi yang disebabkan karena komunikasi terapis dan klien yang tidak efektif atau karena hambatan ekstrem yang dialami klien.(b)Tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, hal ini kemungkinan disebabkan karena penanganan tingkatan yang keliru.(c) Klien tidak mampu membayangkan.
b)        Pelatihan Asertivitas.Teknik ini mengajarkan klien untuk membedakan tingkah laku agresif, pasif, dan asertif. Prosedur yang digunakan adalah permainan peran (role playing). Teknik ini dapat membantu klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan atau menegaskan diri di hadapan orang lain. Pelatihan asertif biasanya digunakan untuk kriteria klien sebagai berikut: (a)Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung. (b) Menunjukkan kesopanan secara berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya. (c) Memiliki kesulitan untuk mengatakan tidak. (d)Mengalami kesulitan mengungkapkan afeksi dan respons positif lainnya. (e)  Merasa tidak memiliki hak untuk memiliki perasaan dan pikiran sendiri. Melalui teknik permainan peran, terapis akan memperlihatkan bagaimana kelemahan klien dalam situasi nyata. Kemudian klien akan diajarkan dan diberi penguatan untuk berani menegaskan diri di hadapan orang lain.
c)        Time-Out. Merupakan teknik aversif yang sangat ringan. Apabila tingkah laku yang tidak diharapkan muncul, maka klien akan dipisahkan darireinforcement positif. Time-out akan lebih efektif bila dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Misalnya lima menit. Contoh kasus: seorang anak yang senang memukul adiknya akan dimasukkan dalam kamar gelap selama lima menit bila terlihat melakukan tindakan tersebut, karena takut akan dimasukkan ke kamar gelap kembali, biasanya anak akan menghentikan tindakan yang salah tersebut.
d)       Implosion dan Flooding. Teknik implosion mengarahkan klien untuk membayangkan situasi stimulus yang mengancam secara berulang-ulang, karena dilakukan terus-menerus sementara konsekuensi yang menakutkan tidak terjadi, maka diharapkan kecemasan klien akan tereduksi atau terhapus. Menurut Stampfl (dalam Lubis, 2011). Terapiimplosion adalah teknik yang menantang pasien untuk "menatap mimpi-mimpi buruknya." Ia menambahkan bahwa teknik implosion sangat bagus digunakan untuk pasien gangguan jiwa yang berada di rumah sakit, klien neurotik, klien psikotik, dan fobia. Sementara itu menurut Corey (dalam Lubis, 2011) flooding merupakan teknik di mana terjadi pemunculan stimulus yang menghasilkan kecemasan secara berulang-ulang tanpa pemberian reinforcement. Klien akan membayangkan situasi dan terapis berusaha mempertahankan kecemasan klien tersebut.Flooding bersifat lebih ringan karena situasi yang menimbulkan kecemasan tidak menyebabkan konsekuensi yang parah.
Selain teknik-teknik yang telah dikemukakan di atas, Corey (dalam Lubis, 2011) menambahkan beberapa teknik yang juga diterapkan dalam terapi behavioristik. Diantaranya, adalah:
a)         Reinforcement positif. Adalah teknik yang digunakan melalui pemberian ganjaran segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Contoh: senyuman, persetujuan, pujian, bintang emas, medali, uang, dan hadiah lainnya. Pemberian reinforcement positif dilakukan agar klien dapat mempertahankan tingkah laku baru yang telah terbentuk.
b)        Modelling. Dalam teknik ini, klien dapat mengamati seseorang yang dijadikan modelnya untuk berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model. Dalam hal ini, terapis dapat bertindak sebagai model yang akan ditiru oleh klien .
c)         Token Economy. Teknik ini dapat diberikan apabila persetujuan dan penguatan lainnya tidak memberikan kemajuan pada tingkah laku klien. Metode ini menekankan penguatan yang dapat dilihat dan disentuh oleh klien (misalnya kepingan logam) yang dapat ditukar oleh klien dengan objek atau hak istimewa yang diinginkannya. Token economy dapat dijadikan pemikat oleh klien untuk mencapai sesuatu. Misalnya, pada anak pemalas, bila ia bersedia untuk menyapu rumahnya, ia akan diberi satu logam. Bila berhasil mengumpulkan 10 logam, anak tersebut akan dibelikan sepeda.
Sumber :