TUGAS KE 2
1.
LOGOTERAPI
a. Konsep Dasar Pandangan Frankl Tentang Kepribadian
Pandangan Frankl tentang kesehatan
psikologis menekankan pentingnya kemauan akan arti. Tentu saja ini merupakan
kerangka, di dalamnya segala sesuatu yang lain diatur. Frankl berpendapat manusia harus dapat menemukan makna hidupnya
sendiri dan setelah menemukan lalu mencoba untuk memenuhinya. Bagi Frankl
setiap kehidupan mempunyai makna, dan kehidupan itu adalah suatu tugas yang
harus dijalani. Mencari makna dalam hidup inilah prinsip utama teori Frankl
Logoterapi. Logoterapi memiliki tiga konsep dasar, yakni:
1)
Kebebasan
berkehendak (Freedom of Will)
Dalam pandangan
logoterapi, manusia adalah mahluk yang istimewa karena mempunyai kebebasan.
Kebebasan yang dimaksud dalam freedom of will seperti:
- Kebebasan yang
bertanggung jawab.
-
Kebebasan untuk mengambil sikap (freedom to take a stand) atas
kondisi-kondisi tersebut.
- Kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang dianggap
penting dalam hidupnya.
2)
Kehendak Hidup
Bermakna (The Will to Meaning)
Konsep keinginan
kepada makna (the will to meaning)
inilah menjadi motivasi utama kepribadian manusia (Frankl, 1977). Dalam
psikoanalisa memandang manusia adalah pencari kesenangan. Pandangan psikologi
individual bahwa manusia adalah pencari kekuasaan. Menurut logoterapi bahwa
kesenangan merupakan efek dari pemenuhan makna, sedangkan kekuasaan merupakan
prasyarat bagi pemenuhan makna. Mengenal makna, menurut Frankl bersifat menarik
dan menawari bukannya mendorong. Karena sifatnya menarik maka individu termotivasi
untuk memenuhinya. Agar individu menjadi individu yang bermakna, maka melakukan
berbagai kegiatan yang syarat dengan makna.
3)
Makna Hidup (The Meaning Of Life)
Makna yaitu
suatu hal yang didapat dari pengalaman hidupnya baik dalam keadaan senang maupun
dalam penderitaan. Makna hidup dianggap identik dengan tujuan hidup. Makna
hidup bisa berbeda antara satu dengan yang lainya dan berbeda setiap hari,
bahkan setiap jam. Karena itu, yang penting secara umum bukan makna hidup,
melainkan makna khusus dari hidup pada suatu saat tertentu. Setiap individu
memiliki pekerjaan dan misi untuk menyelesaikan tugas khusus. Dalam kaitan
dengan tugas tersebut dia tidak bisa digantikan dan hidupnya tidak bisa
diulang. Karena itu, manusia memiliki tugas yang unik dan kesempatan unik untuk
menyelesaikan tugasnya (Frankl, 2004).
b. Unsur terapi
1)
Munculnya
Gangguan
Saat
individu tidak memiliki keinginan terhadap sesuatu (apapun), karena keinginan
akan mendorong setiap manusia untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya di
rasakan berarti dan berharga. Menurut Frankl (2004) terdapat dua tahapan pada
sindroma ketidakbermaknaan, yaitu:
a)
Frustasi
eksistensial (exsistential frustration)
atau disebut juga kehampaan eksistensial (exsistetial
vacuum). Menurut Koesworo (1992) exsistential
frustration adalah fenomena umum yang berkaitan dengan keterhambatan atau
kegagalan individu dalam memenuhi keinginan akan makna.
b)
Neurosis
noogenik (noogenic neuroses)
Yaitu gangguan
neurosis yang disebabkan tidak terpenuhinya hasrat untuk hidup bermakna. Frankl
menggunakan istilah ini untuk membedakan dengan keadaan neurosis somatogenik,
yaitu neurosis yang berakar pada kondisi fisiologis tertentu atau gangguan
perasaan yang berkaitan dengan ragawi dan neurosis psikogenik yaitu neurosis
yang bersumber pada konflik-konflik psikologis atau gangguan perasaan yang
berasal dari hambatan-hambatan psikis.
2)
Tujuan Terapi
•
Memahami adanya potensi dan sumber daya rohaniah yang secara
universal ada pada setiap orang terlepas dari
ras, keyakinan, dan agama yang dianutnya.
• Menyadari
bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan,
terhambat, dan
diabaikan, bahkan terlupakan.
• Memanfaatkan
daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari
penderitaan
untuk mampu tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar
mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna
3)
Peran terapis
a)
Terapis harus
menunjukkan kepada klien bahwa setiap manusia mempunyai tujuan yang unik yang
dapat tercapai dengan suatu cara tertentu.
b)
Terapis berusaha
membuat klien menyadari secara penuh tanggung jawab dirinya dan memberinya
kesempatan untuk memilih, untuk apa, kepada apa, atau kepada siapa dia harus
bertanggung jawab.
c)
Terapis tidak
tergoda untuk menghakimi klien-kliennya, karena dia tidak pernah membiarkan
seorang klien melemparkan tanggung jawab kepada terapis untuk menghakiminya.
c. Teknik-teknik terapi
1)
Teknik Intensi
Paradoksikal (Perlawanan Terhadap Niat)
Teknik ini
didasarkan pada dua fakta, yaitu
a)
rasa takut bisa
menyebabkan terjadinya hal yang ditakutkan
b)
keinginan yang
berlebihan bisa membuat keingginan tersebut tidak terlaksana.
Dalam
kasus-kasus fobia, teknik ini berusaha mengubah sikap penderita yang semula
serba takut menjadi akrab dengan objek yang justru ditakutinya. Sedangkan pada
kasus-kasus obsesi dan kompulsi, yang biasanya penderita menahan dan
mengendalikan secara ketat dorongan-dorongan agar tidak muncul, penderita
justru diminta untuk secara sengaja mengharapkan agar dorongan-dorongan itu
benar-benar mencetus.
Intensi
paradoksikal juga dapat diterapkan kepada penderita insomnia. Rasa takut tidak
bisa tidur memicu keinginan berlebihan untuk tidur, yang malah membuat pasien
malah tidak bisa tidur. Untuk mengatasi ketakutan ini, biasanya Frankl
menganjurkan si pasien untuk mencoba tidak tidur, tetapi melakukan yang
sebaliknya, artinya berusaha sebisa mungkin untuk tetap bangun. Dengan kata
lain, keinginan yang sangat besar untuk tidur yang muncul akibat rasa cemas
yang diantisipasi bahwa dia tidak bisa tidur, harus diganti dengan keinginan sebaliknya
untuk tidak tidur, akibatnya si pasien akan segera tertidur. Selain itu, teknik
ini mempunyai keterbatasan yang perlu diperhatikan, yakni mempunyai kontra
indikasi dengan depresi, terutama kasus depresi dengan kecenderungan bunuh
diri. Maksudnya, bila teknik ini diterapkan pada kasus depresi dengan keinginan
bunuh diri, maka kemungkinan besar justru akan mendorong penderita untuk
benar-benar melakukan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, jangan sekali-kali
menerapkan teknik ini untuk kasus depresi.
2)
Derefleksi
Seperti
halnya intensi paradoksikal, teknik derefleksi pun memanfaatkan
kualitas-kualitas insani dalam gangguan neurosis. Bedanya, jika intensi
paradoksikal memanfaatkan kemampuan mengambil jarak terhadap diri sendiri dan
seakan-akan memandangnya dari luar, maka derefleksi memanfaatkan kemampuan
transedensi diri yang ada dalam diri setiap orang.
Frankl
kemudian mengatakan bahwa refleksi berlebihan bisa diatasi dengan teknik
derefleksi. Sebab, jika intensi paradoksikal dirancang untuk mengatasi
kecemasan antisipatori, derefleksi dirancang untuk bisa mengatasi kompulsi
kepada observasi diri atau pemaksaan ke arah pengamatan diri sendiri. Dengan
demikian, jika intensi paradoksikal menggunakan pola right passivity,
derefleksi menggunakan pola right activity.
3)
Bimbingan Rohani
Bimbingan
rohani merupakan salah satu teknik logoterapi yang mula-mula banyak diterapkan
dalam dunia medis, khusunya untuk kasus-kasus somatogenik. Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya, prinsip-prinsip ini diamalkan juga oleh profesi lain
dalam kasus-kasus tragis non-medis yang tak dapat dihindari lagi. Pendekatan
ini memanfaatkan kemampuan insani untuk mengambil sikap terhadap keadaan diri
sendiri dan keadaan lingkungan yang tak mungkin diubah lagi. Bimbingan rohani
kiranya dapat dilihat sebagai ciri paling menonjol dari logoterapi sebagai
psikoterapi berwawasan spiritual. Sebab, bimbingan rohani merupakan metode yang
secara eksklusif diarahkan pada unsur rohani atau roh, dengan sasaran penemuan
makna oleh individu atau klien melalui realisasi nilai-nilai bersikap.
Jelasnya, bimbingan rohani merupakan metode yang khusus digunakan pada penangan
kasus dimana individu dalam penderitaan karena penyakit yang tidak bisa
disembuhkan atau nasib buruk yang tidak mampu lagi untuk berbuat selain
menghadapi penderitaan itu.
Melalui
bimbingan rohani, individu yang menderita didorong ke arah merealisasi
nilai-nilai bersikap, menunjukkan sikap positif terhadap penderitaannya,
sehingga ia bisa menemukan makna dibalik penderitaannya.
4)
Existential
Analysis
Teknik
ini sangat luas dan luwes, serta memberikan keleluasaan kepada para logoterapis
untuk secara kreatif mengembangkan sendiri metode dan teknik-tekniknya.
2.
RATIONAL EMOTIVE
THERAPY (ELLIS)
a.
Konsep dasar
Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah
unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika
berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan
kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi
tidak efektif. Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh
evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari.
Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat dari cara berpikir
yang tidak logis dan irasional, yang mana emosi yang menyertai individu dalam
berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irasional.
Berpikir irasional ini diawali dengan belajar secara
tidak logis yang biasanya diperoleh dari orang tua dan budaya tempat
dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari kata-kata yang
digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan
kata-kata yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran
negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional
dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara
verbalisasi yang rasional.
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang
kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga
pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief
(B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal
dengan konsep atau teori ABC.
1)
Antecedent event
(A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa
pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain.
Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon
karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
2)
Belief (B) yaitu
keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu
peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional
(rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief
atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan
yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan
yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang
salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
3)
Emotional
consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi
individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya
dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung
dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan
(B) baik yang rB maupun yang iB.
Selain
itu, Ellis juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus
melawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati
dampak-dampak (effects; E) psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang
rasional.
Sebagai
contoh, “orang depresi merasa sedih dan kesepian karena dia keliru berpikir
bahwa dirinya tidak pantas dan merasa tersingkir”. Padahal, penampilan orang
depresi sama saja dengan orang yang tidak mengalami depresi. Jadi, Tugas
seorang terapis bukanlah menyerang perasaan sedih dan kesepian yang dialami
orang depresi, melainkan menyerang keyakinan mereka yang negatif terhadap diri
sendiri. Walaupun tidak terlalu penting bagi seorang terapis mengetahui titik
utama keyakinan-keyakinan irasional tadi, namun dia harus mengerti bahwa
keyakinan tersebut adalah hasil “pengondisian filosofis”, yaitu
kebiasaan-kebiasaan yang muncul secara otomatis, persis seperti kebiasaan kita
yang langsung mengangkat dan menjawab telepon setelah mendengarnya berdering.
b.
Unsur-unsur
1)
Tujuan Terapi
Dalam
kontek teori kepribadian, tujuan konseling merupakan efek (E) yang diharapkan
terjadi setelah dilakukan intervensi oleh konselor (desputing/D). oleh karena
itu teori TRE tentang kepribadian dalam formula A-BC dilengkapi pleh Ellis
sebagai teori konseling menjadi A-B-C-D-E (antecedent event, belief, emotional
consequence, desputing, dan effect). Efek yang dimaksud adalah keadaan psikologis
yang diharapkan terjadi pada klien setelah mengikuti proses konseling.
2)
Peranan dan
fungsi terapi
Aktivitas-aktivitas
terapeutik utama TRE dilaksanakan dengan satu maksud utama, yaitu membantu
klien untuk membebaskan diri dari gagasangagasan yang tidak logis dan untuk
belajar gagasan-gagasan yang logis debagai penggantinya. Sasarannya adalah
menjadikan klien menginternalisasi suatu filsafat hidup yang rasional
sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dagmatis yang irasional
dan tahayul yang berasal dari orangtuanya maupun dari kebudayaannya.
3)
Hubungan antara
terapi dan klien
Pola
hubungan pada konseling ini berbeda denagn sebagian besar bentuk terapi yang
lain. ide dasar pengembangan hubungan adalah menolong klien dalam hal
menghindari sifat mengutuk diri sendiri. Disini terapis harus menunjukkan sifat
penerimaan mereka secara penuh,tidak ada hubungan yang membertikan arti utama
paad kehangatan pribadi dan pengertian empatik, dengan asumsi empatik bisa
menjadi kontra produktif karena bisa memupuk rasa ketergantungan. Tetpi terapis
menekankan hubungan saling mengerti dan membangun kerjasama dan terapis
biasanya sanagt terbuka dan langsung dalam mengungkapkan keyakinan dan nilai
mereka sendiri.
c.
Teknik-teknik
terapi
1)
Teknik emotif
(afektif)
a)
Teknik Assertive Training , yaitu teknik yang
digunakan untuk melatih, medorong dan membiasakan klien untuk terus menerus
menyesuaikan diri dengan perilaku tertentu yang diinginkan.
b)
Teknik
sosiodrama, yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang
menekan (perasaan negatif) melalui suasana yang didramatisasikan.
c)
Teknik self
modeling atau diri sebagai model, yakni teknik yang digunakan untuk meminta
klien agar berjanji atau mengadakan komitmen dengan konselor untuk
menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu.
d)
Teknik imitasi,
yakni teknik yang digunakan dimana klien diminta untuk menirukan secara terus
menerus soal model perilaku tertentu dengan maksud menhadapi dan menghilangkan
perilakunya sendiri yang negatif.
2)
Teknik
Behavioristik
a)
Teknik reinforcement
/ penguatan, yaitu teknik yang digunakan untuk mendorong klien kearah perilaku
yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward)
ataupun punishment/ hukuman.
b)
Teknik social modeling/ penguatan modeling,
yakni teknik yang digunakan untuk memberikan perilaku-perilaku baru kepada
klien.
c)
Teknik live models/ model dari kehidupan nyata,
yang digunakan untuk menggambarkan perilaku tertentu.
3)
Teknik-teknik
kognitif
a)
Home work assigments/ pemberian tugas rumah , klien diberikan tugas
rumah untuk berlatih, membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai
tertentu yang menurut pola perilaku yang diharapkan.
b)
Teknik Assertive, teknik yang digunakan untuk
melatih keberanian klien dalam mengekspresikan perilaku tertentu yang diharapkan
melalui role playing atau bermain peran.
c)
Bibliotherapy,
teknik yang digunakan untuk membalikkan pola pikir irasional dan ketidaklogisan
dalam diri konselin yang menyebabkan permasalahan lewat buku-buku. Konselor
memilih buku-buku bacaan yang sekiranya dapat membantu konseli dalam mengubah
pola pikir irasional menjadi rasional.
3.
TERAPI KELOMPOK
(GROUP THERAPY)
a.
Konsep dasar
Kelompok
adalah kumpulan individu yang mempunyai hubungan antara satu dengan yang
lainnya, saling ketergantungan serta mempunyai norma yang sama. Kelompok
terapeutik memberi kesempatan untuk saling bertukar (sharing) tujuan, misalnya
membantu individu yang berperilaku destruktif dalam berhubungan dengan orang
lain, mengidentifikasi dan memberikan alternatif untuk membantu merubah perilaku
destruktif menjadi konstruktif.
Menurut
Yosep (2007), terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan
sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang
dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapis atau petugas kesehatan jiwa yang
telah terlatih. Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara
kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal.
Terapi kelompok
mirip dengan masalah-masalah yang ditangani oleh terapi individu seperti
konseling. Yang membedakan dengan terapi individu adalah pendekatannya. Terapi
kelompok tidak menggunakan pendekatan yang bersifat perseorangan, melainkan
menggunakan kelompok sebagai media penyembuhan. Individu-individu yang
mengalami masalah sejenis disatukan dalam kelompok penyembuhan dan kemudian
dilakukan terapi dengan dibimbing atau didampingi oleh terapis. Oleh karena itu
perlu diperhatikan mengenai komponen kelompok dalam terapi kelompok. Dalam Sari
(2015) menyebutkan komponen tersebut antara lain:
a)
Struktur
kelompok
Stuktur
kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan dan
hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan
membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam elompok diatur
dengan adanya pimpinan dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin,
sedangkan keputusan diambil secara bersama.
b)
Besar kelompok
Menurut
Wartono (dalam Yosep, 2007), jumlah ideal anggota kelompok adalah tujuh sampai
delapan orang. Jumlah minimum angota kelompok berkisar empat dan jumlah
maksimun adalah sepuluh orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya
tidka semua anggota kelompok memndapatkan kesempatan mengungkapkan perasaan, mengemukakan
pendapat dan pengalamannya. Jika terlalu kecil makan tidak cukup variasi
informasi dan intreaksi yang terjadi.
c)
Lamanya sesi
Waktu
optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit untuk fungsi terapi reandah, dan
60-120 menit untuk fungsi kelompok yang tinggi. Frekuensi pertemuan dapat
disesuaian dengan tujuan kelompok, dapat satu kali atau dua kali per minggu
atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan.
d)
Komunikasi
Salah
satu tugas pemimpin kelompok yang terpenting adalah mengobservasi dan
mengalisis pola komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan umpan balik
untuk memberikan kesadaran pada anggota kelompok terhadap dinamika yang
trejadi. Pemimpin kelompok dapat mengkaji hambatan dalam kelompok, konflik
interpersonal, tingkat kompetis, dan seberapa jauh anggota kelompok mengerti
serta melaksanakan kegiatan.
e)
Peran kelompok
Pemimpin
(leader) harus memiliki kemampuan
dalam proses yang terjadi pada kelompok, seperti adanya interupsi, peningkatan
intonasi suara, sikap menghakimi antara anggota kelompok selama interaksi
berlangsung. Dengan kata lian, pemimpin harus peka terhadap adanya konflik yang
mungkin terjadi di dalam kelompok.
f)
Kekuatan
kelompok
Kekuatan
kelompok adalah kemampuan anggota dalam memmpengaruhi jalannya kegiatan
kelompok. Untuk menetapkan kekuatan kelompok yang bervariasi diperlukan kajian
siapa yang paling banyak mendengar siapa yang membuat keputusan dalam kelompok.
g)
NormaNorma
adalah standar perilaku dalam kelompok. Pengharapan terhadap perilaku kelompok
pada masa yang akan datang berdasarkan pada pengalaman masa lalu dan saat ini.
Pemahaman tentang norma berguna untuk mngetahui pengaruhnya terhadap komunikasi
dan interaksi dalam kelompok.
h)
Kekohesifan
Kekohesifan
adalah kekuatan antar anggota kelompok bekerjasama dalam mencapai tujuan. Hal
ini mempengaruhi anggota kelompok untuk tertarik dan puas terhadap kelompoknya.
Terapis perlu melakukan upaya agar kekohesifan kelompok dapat terwujud, selain
mengelompokan anggota yang memiliki masalah yang sama. Terapis juga menciptakan
kekohesifan dengan cara mendorong kelompok untuk berbicara satu sama lain.
Kekohesifan dapat diukur melalui seberapa sering antar anggota memberi pujian
dan mengungkapkan kekaguman satu sama lain.
b.
Unsur-unsur
1)
Munculnya
gangguan
Terapi kelompok
digunakan ketika klien tidak berhasil dalam penanganan secara terapi individu.
2)
Tujuan terapi
a)
Meningkatkan
identitas diri
b)
Menyalurkan
emosi dna membagi perasaan antar sesama didalam kelompok terapis
c)
Meningkatkan
keterampilan hubungan sosial
d)
Meningkatkan
kemampuan hidup mandiri
3)
Peran terapis
Terapis
harus memainkan peranan yang aktif dalam mendorong kelompok untuk mencapai
tujuan atau harapannya.
c.
Teknik-teknik
terapi
1)
Melibatkan para
anggotanya untuk terbuka dan aktif
2)
Terapis turut
membantu klien untuk melepaskan segala kecanggungannya, agar lebih bisa terbuka
dan menceritakan masalah yang dialaminya.
3)
Berfokus pada
satu topik permasalahan yang hendak diselesaikan pertama kali.
4.
TERAPI PERILAKU
a.
Konsep dasar
Terapi perilaku adalah terapi psikologis singkat
bertarget yang lebih menangani gambaran terkiniberbagai gangguan ketimbangan,
mengurusi perkembangan sebelumnya. Terapi ini didasarkanpada teori pembelajaran
perilaku, yang selanjutnya didasarkan pada classical
dan operant conditioning. Penilaian
objektif berkelanjutan mengenai kemajuan pasien dibuat. Terdapat tiga perubahan
dalam penerapan terapi perilaku, yaitu :
1)
Terapi perilaku
yang fokus pada memodifikasi perilaku-perilaku tampak (overt behavior), yakni yang didasarkan pada prinsip dan prosedur
clasical dan operant conditioning. Terdapat dua pendekatan yang terkenal yakni
:
a)
applied behavior analysis (Skinner)
Pada pendekatan ini asumsi yang digunakan adalah
perilaku merupakan fungsi dari konsekuensi (behavior
is a function of its consequences). Prosedur yang digunakan berupa
pemberian reinforcement, punishment, extinction dan stimulus control.
b)
Neobehavioristic
mediational stimulus response (Mowrer & Miller).
Merupakan aplikasi dari konsep clasical
conditioning. Pada pendekatan ini mulai disadari bahwa proses mental mempunyai
pengaruh terhadap hukum belajar yang kemudian membentuk suatu perilaku. Model
pendekatan Stimulus Respon menggunakan proses mediasional. Teknik-teknik yang
digunakan berupa systematic desensitization dan flooding.
2)
Gerakan ke dua
ialah Social-Cognitive theory yang
diprakarsai oleh Bandura (1986). Ada 3 faktor yang terpisah namun saling
membentuk sistem interaksi satu sama lainnya, yang berupa lingkungan (external stimulus events), penguatan (external reinforcement), dan proses
kognitif (cognitive mediational processes).
Social-Cognitive Theory beranggapan
bahwa ketiga elemen tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena
itu, dalam prosedur treatment yang
menjadi fokus adalah individu itu sendiri sebagai agent of change. Aplikasi dari teori ini adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT).
3)
Gerakan ketiga
dalam perkembangan terapi perilaku didasari oleh argumentasi Hayes (2004) yang
mulai menggunakan konsep penerimaan (acceptance)
yg merupakan proses aktif dari self-affirmation,
menerima bukan berarti menyerah melainkan keberanian untuk mengalami/merasakan
pikiran perasaan negatif.
a)
Dialectical Behaviora Therapy (DBT)
Terdapat dua
konsep penting dalam penerapan DBT, yakni Acceptance and change dan
Mindfullness.
b)
Acceptance and
Commitment Therapy (ACT).
Sedangkan dalam
Acceptance and Commitment Therapy mengkombinasikan prinsip-prinsip behaviorisme
Skinner dengan faktor bahasa dan kognitif serta bagaimana ketiga faktor
tersebut berpengaruh dalam psikopatologi. Terdapat empat konsep utama yakni:
·
Experiential avoidance. Mengacu pada proses mencoba untuk menghindari
pengalaman pribadi negatif atau menyedihkan,
·
Acceptance.
ACT dirancang untuk membantu klien belajar bahwa menghindari pengalaman adalah
bukan solusi.
·
Cognitive Defusion.
Konsep ini mengacu memisahkan pikiran dari orang lain yang dan apa yang kita
pikirkan.
·
Commitment.
ACT berfokus pada tindakan.
b.
Unsur-unsur
1)
Munculnya
gangguan
Model humanistik kepribadian, psikopatologi, dan
psikoterapi awalnya menarik sebagian besar konsep-konsep dari filsafat
eksistensial, menekankan kebebasan bawaan manusia untuk memilih, bertanggung jawab
atas pilihan mereka, dan hidup sangat banyak pada saat ini. Hidup sehat di sini
dan sekarang menghadapkan kita dengan realitas eksistensial menjadi, kebebasan,
tanggung jawab, dan pilihan, serta merenungkan eksistensi yang pada gilirannya
memaksa kita untuk menghadapi kemungkinan pernah hadir ketiadaan. Pencarian
makna dalam kehidupan masing-masing individu adalah tujuan utama dan aspirasi
tertinggi. Pendekatan humanistik kontemporer psikoterapi berasal dari tiga
sekolah pemikiran yang muncul pada 1950-an, eksistensial, Gestalt, dan klien
berpusat terapi.
2)
Tujuan Terapi
- Menyajikan
kondisi-kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan.
- Menghapus penghambat aktualisasi potensi pribadi.
Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dan memperluas
kesadaran diri.
- Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab
atas arah kehidupan sendiri.
3)
Peran Terapis
Menurut Buhler
dan Allen, para ahli psikoterapi Humanistik memiliki orientasi bersama yang
mencakup hal-hal berikut :
• Mengakui
pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi
• Menyadari
peran dan tanggung jawab terapis
• Mengakui sifat
timbale balik dari hubungan terapeutik.
• Berorientasi
pada pertumbuhan
•
Menekankan keharusan terapis terlibat dengan klien sebagai suatu pribadi yang
menyeluruh.
•
Mengakui bahwa putusan-putusan dan pilihan-pilihan akhir terletak di tangan
klien.
c.
Teknik-teknik
Lesmana
(dalam Lubis, 2011) membagi teknik terapi behavioristik dalam dua bagian, yaitu
teknik-teknik tingkah laku umum dan teknik-teknik spesifik. Uraiannya adalah
sebagai berikut:
1)
Teknik-teknik
Tingkah Laku Umum
Teknik ini
terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya adalah:
a)
Skedul penguatan
adalah suatu teknik pemberian penguatan pada klien ketika tingkah laku yang
baru selesai dipelajari dimunculkan oleh klien. Penguatan harus dilakukan
terus-menerus sampai tingkah laku tersebut terbentuk dalam diri klien. Setelah
terbentuk, frekuensi penguatan dapat dikurangi atau dilakukan pada saat-saat
tertentu saja (tidak setiap kali perilaku baru dilakukan). Shaping adalah
teknik terapi yang dilakukan dengan mempelajari tingkah laku baru secara
bertahap. Terapis dapat membagi-bagi tingkah laku yang ingin dicapai dalam
beberapa unit, kemudian mempelajarinya dalam unit-unit kecil.
b)
Ekstingsi adalah
teknik terapi berupa penghapusan penguatan agar tingkah laku maladaptif tidak
berulang. Ini didasarkan pada pandangan bahwa individu tidak akan bersedia
melakukan sesuatu apabila tidak mendapatkan keuntungan. Misalnya, seorang anak
yang selalu menangis untuk mendapatkan yang diinginkannya. Terapis akan
bertindak tidak memberi perhatian sehingga anak tersebut tidak akan menggunakan
cara yang sama lagi untuk mendapatkan keinginannya.
2)
Teknik-teknik
Spesifik
Teknik-teknik
spesifik ini meliputi:
a)
Desentisasi
Sistematik. Teknik ini adalah teknik yang paling sering digunakan. Teknik ini
diarahkan kepada klien untuk menampilkan respons yang tidak konsisten dengan
kecemasan. Desentisasi sistematik melibatkan teknik relaksasi di mana klien
diminta untuk menggambarkan situasi yang paling menimbulkan kecemasan sampai
titik di mana klien tidak merasa cemas. Selanjutnya, Wolpe (dalam Lubis, 2011)
menyimpulkan bahwa ada tiga penyebab teknik desentisasi sistematik mengalami
kegagalan, yaitu: (a)Klien mengalami kesulitan dalam relaksasi yang disebabkan
karena komunikasi terapis dan klien yang tidak efektif atau karena hambatan
ekstrem yang dialami klien.(b)Tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan,
hal ini kemungkinan disebabkan karena penanganan tingkatan yang keliru.(c)
Klien tidak mampu membayangkan.
b)
Pelatihan
Asertivitas.Teknik ini mengajarkan klien untuk membedakan tingkah laku agresif,
pasif, dan asertif. Prosedur yang digunakan adalah permainan peran (role
playing). Teknik ini dapat membantu klien yang mengalami kesulitan untuk
menyatakan atau menegaskan diri di hadapan orang lain. Pelatihan asertif
biasanya digunakan untuk kriteria klien sebagai berikut: (a)Tidak mampu
mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung. (b) Menunjukkan kesopanan
secara berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya. (c)
Memiliki kesulitan untuk mengatakan tidak. (d)Mengalami kesulitan mengungkapkan
afeksi dan respons positif lainnya. (e)
Merasa tidak memiliki hak untuk memiliki perasaan dan pikiran sendiri.
Melalui teknik permainan peran, terapis akan memperlihatkan bagaimana kelemahan
klien dalam situasi nyata. Kemudian klien akan diajarkan dan diberi penguatan
untuk berani menegaskan diri di hadapan orang lain.
c)
Time-Out.
Merupakan teknik aversif yang sangat ringan. Apabila tingkah laku yang tidak
diharapkan muncul, maka klien akan dipisahkan darireinforcement positif.
Time-out akan lebih efektif bila dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.
Misalnya lima menit. Contoh kasus: seorang anak yang senang memukul adiknya
akan dimasukkan dalam kamar gelap selama lima menit bila terlihat melakukan
tindakan tersebut, karena takut akan dimasukkan ke kamar gelap kembali,
biasanya anak akan menghentikan tindakan yang salah tersebut.
d)
Implosion dan
Flooding. Teknik implosion mengarahkan klien untuk membayangkan situasi
stimulus yang mengancam secara berulang-ulang, karena dilakukan terus-menerus
sementara konsekuensi yang menakutkan tidak terjadi, maka diharapkan kecemasan
klien akan tereduksi atau terhapus. Menurut Stampfl (dalam Lubis, 2011).
Terapiimplosion adalah teknik yang menantang pasien untuk "menatap
mimpi-mimpi buruknya." Ia menambahkan bahwa teknik implosion sangat bagus
digunakan untuk pasien gangguan jiwa yang berada di rumah sakit, klien
neurotik, klien psikotik, dan fobia. Sementara itu menurut Corey (dalam Lubis,
2011) flooding merupakan teknik di mana terjadi pemunculan stimulus yang
menghasilkan kecemasan secara berulang-ulang tanpa pemberian reinforcement.
Klien akan membayangkan situasi dan terapis berusaha mempertahankan kecemasan
klien tersebut.Flooding bersifat lebih ringan karena situasi yang menimbulkan
kecemasan tidak menyebabkan konsekuensi yang parah.
Selain
teknik-teknik yang telah dikemukakan di atas, Corey (dalam Lubis, 2011)
menambahkan beberapa teknik yang juga diterapkan dalam terapi behavioristik.
Diantaranya, adalah:
a)
Reinforcement
positif. Adalah teknik yang digunakan melalui pemberian ganjaran segera setelah
tingkah laku yang diharapkan muncul. Contoh: senyuman, persetujuan, pujian,
bintang emas, medali, uang, dan hadiah lainnya. Pemberian reinforcement positif
dilakukan agar klien dapat mempertahankan tingkah laku baru yang telah
terbentuk.
b)
Modelling. Dalam
teknik ini, klien dapat mengamati seseorang yang dijadikan modelnya untuk
berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model. Dalam
hal ini, terapis dapat bertindak sebagai model yang akan ditiru oleh klien .
c)
Token Economy.
Teknik ini dapat diberikan apabila persetujuan dan penguatan lainnya tidak
memberikan kemajuan pada tingkah laku klien. Metode ini menekankan penguatan
yang dapat dilihat dan disentuh oleh klien (misalnya kepingan logam) yang dapat
ditukar oleh klien dengan objek atau hak istimewa yang diinginkannya. Token
economy dapat dijadikan pemikat oleh klien untuk mencapai sesuatu. Misalnya,
pada anak pemalas, bila ia bersedia untuk menyapu rumahnya, ia akan diberi satu
logam. Bila berhasil mengumpulkan 10 logam, anak tersebut akan dibelikan
sepeda.
Sumber :