Softskill
Pertemuan ke-1
I.
PSIKOTERAPI
1.
Pengertian psikoterapi
Dilihat
secara etimologis psikoterapi mempunyai arti sederhana, yakni “psyche” yang artinya jiwa dan “therapy”
mengasuh, sehingga psikoterapi dalam arti sempitnya adalah “perawatan terhadap
aspek kejiwaan” seseorang.
Psikoterapi
adalah usaha penyembuhan untuk masalah yang berkaitan dengan pikiran, perasaan
dan perilaku. Oleh karena itu, psikoterapi disebut juga dengan istilah terapi
kejiwaan, terapi mental, atau terapi pikiran. Umumnya psikoterapi dianjurkan
bila seseorang bergulat dengan kehidupan, masalah hubungan atau kerja atau
masalah kesehatan mental tertentu, dan isu-isu atau masalah yang menyebabkan
banyak individu yang besar rasa sakit atau marah selama lebih dari beberapa
hari.
2.
Tujuan psikoterapi
Menurut Ivey, et al (1987) dan
Corey (1991) tujuan psikoterapi adalah :
a. Perawatan
akut (intervensi krisis dan stabilisasi)
b. Rehabilitasi
(memperbaiki gangguan perilaku berat)
c. Pemeliharaan
(pencegahan keadaan memburuk dijangka panjang)
d. Restrukturisasi
(meningkatkan perubahan yang terus menerus kepada pasien).
Menurut (Korchin) tujuan psikoterapi
adalah:
a. Memperkuat motivasi klien untuk melakukan hal yang benar
b. Mengurangi tekanan emosional
c. Mengembangkan potensi klien
d. Mengubah kebiasaan
e. Memodifikasi struktur kognisi
f. Memperoleh pengetahuan tentang diri
g. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi & hubungan interpersonal
h. Meningkatkan kemampuan mengambil keputusan
i. Mengubah kondisi fisik
j. Mengubah kesadaran diri.
k. Mengubah lingkungan sosial
3.
Unsur- unsur
a. Dua
individu saling terikat dalam interaksi yang bersifat rahasia, dimana klien
akan dibukakan jalan untuk menjadi tahu.
b. Interaksi
umumnya terbatas pada pertukaran verbal.
c. Interaksi
berlangsung dalam jangka waktu lama.
d. Hubungan
bertujuan untuk mengubah perilaku tertentu pada klien, yang telah disetujui
oleh kedua pihak.
Menurut Masserman (Karasu 1984) telah melaporkan
tujuh “parameter pengaruh” dasar yang mencakup unsur-unsur lazim pada semua
jenis psikoterapi. Dalam hal ini termasuk :
a) Peran
sosial (martabat) psikoterapis,
b) Hubungan
(persekutuan terapeutik),
c) Hak,
d) Retrospeksi,
e) Re-edukasi,
f) Rehabilitasi,
g) Resosialisasi
dan rekapitulasi.
Unsur–unsur psikoterapeutik dapat dipilih untuk
masing-masing pasien dan dimodifikasi dengan berlanjutnya terapi. Ciri-ciri ini
dapat diubah dengan berubahnya tujuan terapeutik, keadaan mental dan kebutuuhan
pasien.
4.
Perbedaan antara psikoterapi dan
konseling
Apabila
kita tinjau dari definisi kedua permbahasan tersebut konseling Menurut
Schertzer dan Stone (1980) Konseling adalah upaya membantu individu melalui
proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli agar konseli
mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan
tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan
efektif perilakunya.
Sedangkan
psikoterapi menurut Wolberg (1967 dalam Phares dan Trull 2001), mengungkapkan
bahwa psikoterapi merupakan suatu bentuk perlakuan atau tritmen terhadap
masalah yang sifatnya emosional. Dengan tujuan menghilangkan simptom untuk
mengantarai pola perilaku yang terganggu serta meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan pribadi yang positif.
Dari
dua definisi di atas kita bisa tarik kesimpulan mengenai dua pembahasan
tersebut bahwa konseling lebih terfokus pada interaksi antara konselor dan
konseli dan lebih mengutamakan pembicaraan serta komunikasi non verbal yang
tersirat ketika proses konseli berlangsung dan semacam memberikan solusi agar
konseli dapat lebih memahami lingkungan serta mampu membuat keputusan yang
tepat dan juga nantinya konseli dapat menentukan tujuan berdasarkan nilai yang
diyakininya.
Sedangkan
psikoterapi lebih terfokus pada treatment terhadap masalah sifatnya emosional
dan juga lebih dapat diandalkan pada klien yang mengalami penyimpangan dan juga
lebih berusaha untuk menghilangkan simptom-simptom yang di anggap mengganggu
dan lebih mengusahakan agar klien dapat meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian ke arah yang positif.
Perbedaan
konseling dan psikoterapi didefinisikan oleh Pallone (1977) dan Patterson
(1973) yang dikutip oleh Thompson dan Rudolph (1983), sebagai berikut:
KONSELING
|
PSIKOTERAPI
|
a. Klien
|
a. Pasien
|
b. Gangguan
yang kurang serius
|
b. Gangguan
yang serius
|
c. Masalah
: jabatan, pendidikan, dsb
|
c. Masalah
kepribadian dan pengambilan keputusan
|
d. Berhubungan
dengan pencegahan
|
d. Berhubungan
dengan penyembuhan
|
e. Lingkungan
pendidikan dan non medis
|
e. Lingkungan
medis
|
f. Berhubunngan
dengan kesadaran
|
f. Berhubungan
dengan ketidaksadaran
|
g. Metode
pendidikan
|
g. Metode
penyembuhan
|
Menurut
Mappiare (dalam Hartosujono, 2004) ada sejumlah perbedaan psikoterapi dan
konseling dikemukakan sebagai berikut:
a. Konseling merupakan bagian dari psikoterapi.
Psikoterapi merupakan bagian yang lebih luas dari pada konseling.
b. Konseling
lebih mengarah pada penyebab atau awal masalah. Selanjutnya konseling lebih
mengarah pada pengembangan-pendidikan-pencegahan. Berbeda dengan psikoterapi
yang mengarah penyembuhan-penyesuaian-penyembuhan.
c. Dasar
konseling adalah filsafat manusia. Dasar dari psikoterapi adalah perbedaan
individual dengan dasar-dasar psikologi kepribadian dan psikopatologi. Pada
perkembangan selanjutnya konseling juga memanfaatkan perkembangan teori-teori
kepribadian dalam konteks ilmu perilaku.
d. Dijelaskan
oleh Narayana Rao (dalam Hartosujono, 2004) bahwa tujuan antara konseling dan
psikoterapi sama, namun keduanya berbeda dalam proses pencapaiannya. Psikoterapi
mencapainya dengan cara ‘pembedahan’ psikis dan pembedahan otak. Proses
konseling lebih mengarah pada identifikasi dan kekuatan-kekuatan positif yang
dimiliki klien, agar klien lebih maksimal dalam kehidupannya.
Konseling dan
Psikoterapi merupakan suatu usaha profesional untuk membantu/memberikan layanan
pada individu-individu mengenai permasalahan yang bersifat psikologis. Dengan
kata lain Konseling dan Psikoterapi bertujuan memberikan bantuan kepada klien
untuk suatu perubahan tingkah (behauvioral
change), kesehatan mental positif (positive
mental health), pemecahan masalah (problen
solution), keefektifan pribadi (personal
effectiveness), dan pembuatan keputusan (decision making). Dengan demikian seorang konselor perlu didukung
oleh pribadi dan keterampilan yang dapat menunjang keefektifan konseling.
Pada dasarnya
antara konseling dan psikoterapi dalam hal tujuan sama-sama ingin membantu agar
klien dapat menemukan permasalahan untuk kemudian dapat dipecahkan
bersama-sama, namun semua itu hanya dapat terlaksana dengan baik manakala klien
dapat membuka diri dan mau diajak kerjasama.
Dan adapun
perbedaannya lebih kepada pendekatan dan cara penanganannya, dimana konselor
sebagai mitra yang dapat memberikan masukkan dan membantu untuk memunculkan
suatu permasalahan yang dirasakan klien baik masalah yang disadari maupun yang
tidak disadari, sedangkan psikoterapis selain menggunakan tehnik konseling ia
juga menggunakan therapy yang
sifatnya lebih kepada perubahan pada prilaku yang sangat substanstib.
5. Pendekatan
psikoterapi terhadap mental illnes
Menurut Chaplin
(2011) ada beberapa pendekatan psikoterapi terhadap mental illness,
diantaranya:
a.
Biological
Meliputi
keadaan mental organik, penyakit afektif, psikosis dan penyalahgunaan zat.
Menurut Dr. John Grey, Psikiater Amerika (1854) pendekatan ini lebih manusiawi.
Pendapat yang berkembang waktu itu adalah penyakit mental disebabkan karena
kurangnya insulin.
b.
Psychological
Meliputi
suatu peristiwa pencetus dan efeknya terhadap perfungsian yang buruk, sekuel
pasca-traumatic, kesedihan yang tak terselesaikan, krisis perkembangan,
gangguan pikiran dan respon emosional penuh stres yang ditimbulkan. Selain itu
pendekatan ini juga meliputi pengaruh sosial, ketidakmampuan individu
berinteraksi dengan lingkungan dan hambatan pertumbuhan sepanjang hidup
individu.
c.
Sosiological
Meliputi
kesukaran pada sistem dukungan sosial, makna sosial atau budaya dari gejala dan
masalah keluarga. Dalam pendekatan ini harus mempertimbangkan pengaruh
proses-proses sosialisasi yang memiliki latar belakang kondisi sosio-budaya
tertentu.
d.
Philosophic
Kepercayaan
terhadap martabat dan harga diri seseorang dan kebebasan diri seseorang untuk
menentukan nilai dan keinginannya. Dalam pendekatan ini dasar falsafahnya tetap
ada, yakni menghagai sistem nilai yang dimiliki oleh klien, sehingga tidak ada
istilah keharusan atau pemaksaan.
II.
TERAPI
PSIKOANALISIS
1.
Konsep dasar teori psikoanalisis tentang
kepribadian
Struktur Kepribadian
a.
Id
Id
adalah komponen biologis, system kepribadian yang orisinil; kepribadian setiap
orang hanya terdiri dari id ketika dilahirkan. Id bersifat tidak logis, amoral,
dan di dorong oleh suatu kepentingan.
b.
Ego
Ego
adalah komponen psikologis, eksekutif dari kepribadian yang memerintah,
mengendalikan, dan mengatur. Ego memiliki kontak dengan dunia eksternal dari
kenyataan. Tugas utama ego adalah memperantarai naluri dengan lingkungan
sekitar. Ego mengendalikan kesadaran dan melaksanakan sensor, dengan diatur
oleh asas kenyataan, ego berlaku realistis dannberfikir logis serta merumuskan
rencan-renacana tindakan bagi pemuasaan kebutuhan.
c.
Superego
Superego
adalah cabang moral atau hukum dari kepribadian. Superego memiliki tugas utama
yaitu menilai apakah suatu tindakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas
untuk dilakukan, benar atau salah. Superego mempreesentasikan nilai-nilai
tradisional dan ideal-ideal masyarakat yang diajarkan oleh orang tua pada
anaknya.
2.
Unsur-unsur terapi
a.
Muncul gangguan
Terapis
berusaha memunculkan penyebab-penyebab yang menjadi akar permasalahan dari
klien, untuk lebih mengenal karakteristik penyebab gangguan tersebut, kemudian
terapis memperkuat konidis psikis dari diri klien, shingga apabila klien
mengalami gangguan yang serupa diri klien akan lebih siap menghadapi dan
mencari solusi dengan cepat.
b.
Tujuan terapi
Terfokus
kepada upaya penguatan diri klien, agar dikemudian hari apabila klien mengalami
problem yang sama maka klien akan lebih siap.
c.
Peran terapis
Membantu
klien dalam mencapai kesadaran diri, kejujuran, keefektifan dalam melaukukan
hubungan personal dalam menangani kecemasan secara realistis, membangun
hubungan kerja dengan klien dengan banyak mendengar dan menafsirkan, terapis memebrikan
perhatian khusus pada penolakan-penolakan klien, mendengarkan kesenjangan dan
pertentangan pada cerita klien.
Menurut beberapa ahli
a.
Tujuan psikoterapi dengan pendekatan
Psikodinamik menurut Ivey, et al (1987) adalah : membuat sesuatu yang tidak sadar menjadi sesuatu yang disadari.
Rekonstruksi kepribadiannya dilakukan terhadap kejadian-kejadian yang sudah
lewat dan menyusun sintesis yang baru dari konflik-konflik yang lama.
b.
Tujuan psikoterapi dengan pendekatam
psikoanalisis menurut Corey (1991) dirumuslan sebagai : membuat sesuatu yag
tidak sadar menjadi sesuatu yang disadari. Membantu klien dalam menghidupakan
kembali pengalaman-pengalaman yang sudah lewat dan bekerja melalui
konflik-konflik yang ditekan melalui pemahaman intelektual.
c.
Tujuan psikoterapi dengan pendekatan
Rogerian, terpusat pada peribadi, menurut Ivey, et al (1987) adalah : untuk
memberikan jalan terhadap potensi yang dimiliki seseorang menemukan sendiri
arahnya secara wajar dan menemukan dirinya sendiri yang nyata atau yang ideal dan
mengeksplorasi emosi yang majemuk serta memberi jalan bagi pertumbuhan dirinya
yang unik.
3.
Teknik-teknik terapi
a.
Asosiasi bebas
Secara
mendasar, tujuan teknik ini adalah untuk mengungkapkan pengalaman masa lalu dan
menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan pengalaman traumatik masa
lampau. Teknik asosiasi bebas ini dilakukan dengan klien berbaring di depan dan
terapis duduk di kursi sejajar dengan kepala klien, sehingga klien tidak
melihat terapis. Dengan demikian, klien dapat mengungkapkan atau menyalurkan
materi-materi yang ada dalam ketidaksadarannya secara bebas, terbuka, tidak
menutup-nutupi tanpa harus malu, meskipun materi tesebut menyakitkan, tidak
logis, atau tidak relevan. Terapis harus mampu menjadi pendengar yang baik
serta mendorong klien agar mampu mengungkapkan secara spontan setiap ingatan
yang terlintas dalam pikirannya, pengalaman traumatik, mimpi, penolakan, dan
pengalihan perasaannya.
b.
Penafsiran
Adalah
teknik yang digunakan oleh terapis untuk menganalisis asosiasi bebas, mimpi, resistensi,
dan transferensi perasaan klien dengan tujuan utama untuk menemukan materi yang
tidak disadari. Dengan demikian ego klien dapat mencerna materi tersebut
melalui pemahaman baru dengan penuh kesadaran. Dalam memberikan penafsiran,
terapis harus hati-hati serta dapat memilih waktu dan kata-kata yang tepat agar
klien tidak justru menjadi menutup diri atau mengembangkan pertahanan dirinya.
c.
Analisis Mimpi
Setiap
mimpi memiliki isi yang bersifat manifes atau disadari dan juga bersifat laten
(tersembunyi). Isi yang bersifat manifes adalah mimpi sebagai tampak pada diri
orang yang mimpi, sedangkan isi yang bersifat laten terdiri dari motif-motif
tersamar dari mimpi tersebut. Tujuan analisis mimpi adalah untuk mencari isi
yang laten atau sesuatu yang ada dibalik isi yang manifes, untuk menemukan
sumber-sumber konflik terdesak. Analisis mimpi hendaknya difokuskan kepada
mimpi-mimpi yang sifatnya berulang-ulang, menakutkan, dan sudah pada taraf
mengganggu.
d.
Analisis dan Penafsiran Resistensi
Resistensi
merupakan suatu dinamika yang tidak disadari untuk mempertahankan kecemasan.
Resistensi atau penolakan adalah keengganan klien untuk mengungkapkan materi
ketidaksadaran yang mengancam dirinya, yang berarti ada pertahanan diri
terhadap kecemasan yang dialaminya. Apabila hal ini terjadi, maka sebenarnya
merupakan kewajaran. Namun, yang penting bagi terapis adalah bagaimana
pertahanan diri tersebut dapat diterobos sehingga dapat teramati, untuk
selanjutnya dianalisis dan ditafsirkan, sehingga klien menyadari alasan timbulnya
resistensi tersebut.
e.
Analisis & Penafsiran Transferensi
Transferesnsi
atau pengalihan adalah pergeseran arah yang tidak disadari kepada terapis dari
orang-orang tertentu dalam masa silam klien. Pengalihan ini terkait dengan
perasaan, sikap, dan khayalan klien, baik positif maupun negatif yang tidak
terselesaikan pada masa silamnya.
Teknik analisis
transferensi dilakukan dengan mengusahakan klien mampu mengembangkan
transferensinya guna mengungkap kecemasan-kecemasan yang dialami pada masa
kanak-kanaknya. Apabila transferensi ini tidak ditangani dengan baik, maka
klien dapat menjadi bersikap menolak terhadap perlakuan terapis dan proses
terapi dapat dirasakan sebagai suatu hukuman.
III.
TERAPI
HUMANISTIK EKSISTENSIAL
1.
Konsep dasar teori humanistik eksistensial
tentang kepribadian
Pendekatan
Eksistensial-humanistik berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan
suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan
Eksisteneial-Humanistik dalam konseling menggunakan sistem teknik-teknik yang
bertujuan untuk mempengaruhi konseling. Pendekatan terapi
eksistensial-humanistik bukan merupakan terapi tunggal, melainkan suatu
pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya
berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia. Konsep-konsep
utama pendekatan eksistensial yang membentuk landasan bagi praktek konseling,
yaitu:
a.
Kesadaran Diri,
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan
yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan.
Semakin kuat kesadaran diri seorang, maka akan semakin besar pula kebebasan
yang ada pada orang itu. Kesadaran untuk memilih alternatif-alternatif yakni
memutuskan secara bebas didalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang
esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung
jawab. Para ekstensialis menekan manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan
nasibnya.
b.
Kebebasan, tanggung jawab, dan
kecemasan. Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab bisa
menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan
ekstensial bisa diakibatkan atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak
terhindarkan untuk mati (nonbeing).
Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang,
sebab kesasaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia
memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa
ekstensial yang juga merupakan bagian kondisi manusia. Adalah akibat dari kegagalan
individu untuk benar benar menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
c.
Penciptaan Makna.
Manusia itu unik dalam arti bahwa ia berusaha untuk menentukan tujuan hidup dan
menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi
manusia juga berarti menghadapi kesendirian (manusia lahir sendirian dan mati
sendirian pula). Walaupun pada hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan
untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab
manusia adalah mahluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang
bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi isolasi dipersonalisasi, alineasi,
kerasingan, dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni
mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Sampai tarap tertentu, jika tidak
mampu mengaktualkan diri, ia bisa menajdi “sakit”.
2.
Unsur-unsur terapi
a.
Tujuan-tujuan Terapeutik
Terapi
eksistensial bertujuan agar klien mengalami keberadaan secara otentik dengan
menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat
membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya.
Tujuan
terapi eksistensial adalah meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya
meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab
atas arah hidupnya.
Terapi
eksistensial juga bertujuan membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan
sehubungan dengan tindakan memilih diri dan menerima kenyataan bahwa dirinya
lebih dari sekedar korban kekuatan-kekuatan deterministik di luar dirinya.
b.
Fungsi dan Peran Terapis
Tugas
utama terapis adalah berusaha memahami klien sebagai ada dalam-dunia. Menurut
Buhler dan Allen, para ahli psikologi humanistik memiliki orintasi bersama yang
mencakup hal-hal berikut:
1)
Mengakui pentingnya pendekatan dari
pribadi ke pribadi.
2)
Menyadari peran dari tanggung jawab
terapis.
3)
Mengakui sifat timbal balik dari
hubungan terapeutik.
4)
Berorientasi pada pertumbuhan.
5)
Menekankan keharusan terapis terlibat
dengan klien sebagai suatu pribadi yang
menyeluruh.
6)
Mengakui bahwa putusan-ptusan dan
pilihan-pilihan akhir terletak di tengan klien.
7)
Memandang terapis sebagai model, dalam
arti bahwa terapis dengan gaya hidup dan pandangan humanistiknya tentang
manusia bisa secara implisit menunjukkan kepada klien potensi bagi tindakan
kreatif dan positif.
8)
Mengakui kebebasan klien untuk
mengungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan tujuan-tujuan dan nilainya
sendiri.
9)
Bekerja ke arah mengurangi
kebergantungan klien serta meningkatkan kebebasan klien.
3.
Teknik terapi
Yang
paling dipedulikan oleh konselor eksistensial adalah memahami dunia subyektif
si klien agar bisa menolongnya untuk bisa sampai pada pemahaman dan
pilihan-pilihan baru. Fokusnya adalah pada situasi hidup klien pada saat itu,
dan bukan pada menolong klien agar bisa sembuh dari situasi masa lalu (May &Yalom,
1989). Biasaya terpis eksistensial menggunakan metode yang mencakup ruang yang
cukup luas, bervariasi bukan saja dari klien ke klien, tetapi juga dengan klien
yang sama dalam tahap yang berbeda dari proses terapeutik. Di satu sisi, mereka
menggunakan teknik seperti desentisasi (pengurangan kepekaan atas kekurangan
yang diderita klien sehabis konseling), asosiasi bebas, atau restrukturisasi
kognitif, dan mereka mungkin mendapatkan pemahaman dari konselor yang
berorientasi lain. Tidak ada perangkat teknik yang dikhususkan atau dianggap
esensial (Fischer & Fischer, 1983). Di sisi lain, beberapa orang
eksistensialis mengesampingkan teknik, karena mereka lihat itu semua memberi
kesan kekakuan, rutinitas, dan manipulasi.
Sepanjang
proses terapeutik, kedudukan teknik adalah nomor dua dalam hal menciptakan
hubungan yang akan bisa membuat konselor bisa secara efektif menantang dan
memahami klien.
Teknik-teknik yang digunakan dalam
eksistensial-humanistik, yaitu:
·
Penerimaan
·
Rasa hormat
·
Memahami
·
Menentramkan
·
Memberi dorongan
·
Pertanyaan terbatas
·
Memantulkan pernyataan dan perasaan
klien
·
Menunjukan sikap yang mencerminkan ikut
mersakan apa yang dirasakan klien
·
Bersikap mengizinkan untuk apa saja yang
bermakna
IV.
PERSON
CENTERED THERAPY (ROGERS)
1.
Konsep dasar pandangan rogers tentang
kepribadian
Berbagai
istilah dan konsep yang muncul dalam penyajian teori Rogers mengenai
kepribadian dan perilaku yang sering memiliki arti yang unik dan khas dalam
orientasi sebagai berikut :
a.
Pengalaman
Pengalaman
mengacu pada dunia pribadi individu. Setiap saat, sebagian dari hal ini terkait
akan kesadaran. Misalnya, kita merasakan tekanan pena terhadap jari–jari kita
seperti yang kita tulis. Beberapa mungkin sulit untuk membawa ke dalam
kesadaran, seperti ide, “Aku orang yang agresif”. Sementara kesadaran
masyarakat yang sebenarnya dari total lapangan pengalaman mereka mungkin terbatas,
setiap individu adalah satu–satunya yang bisa tahu itu seluruhnya.
b.
Realitas
Untuk
tujuan psikologis, realitas pada dasarnya adalah dunia pribadi dari persepsi
individu, meskipun untuk tujuan sosial realitas terdiri dari orang–orang yang
memiliki persepsi tingkat tinggi kesamaan antara berbagai individu. Dua orang
akan setuju pada kenyataan bahwa orang tertentu adalah politisi. Satu melihat
dirinya sebagai seorang wanita baik yang ingin membantu orang dan berdasarkan
kenyataan orang menilai untuk dirinya. Kenyataannya orang lain adalah bahwa
politisi menyisihkan uang untuk rakyat dalam memiliki tujuan untuk memenangi
hati dari rakyat. Oleh karena itu orang ini memberi suara padanya (wanita).
Dalam terapi, di sebut sebagai merubah perasaan dan merubah persepsi.
c.
Organisme Bereaksi sebagai Terorganisir
yang utuh
Seseorang
mungkin lapar, tetapi karena harus menyelesaikan laporan. Maka, orang tersebut akan
melewatkan makan siang. Dalam psikoterapi, klien sering menjadi lebih jelas
tentang apa yang lebih penting bagi mereka. Sehingga perubahan perilaku di
arahkan dalam tujuan untuk di klasifikasikan. Seorang politisi dapat memutuskan
untuk tidak mrncalonkan diri untuk mendapatkan jabatan karena ia memutuskan
bahwa kehidupan keluarganya lebih penting dari pada mencalonkan diri sebagai
pejabat.
d.
Organisme mengaktualisasi kecenderungan (The Organism Actualizing Tendency)
Ini
adalah prinsip utama dalam tulisan–tulisan dari Kurt Goldstein, Hobart Mowrer,
Harry Stack Sullivan, Karen Horney, dan Andras Angyai. Untuk nama hanya
beberapa. Perjuangan untuk mengajarkan anak dalam belajar jalan adalah sebuah
contoh. Ini adalah keyakinan Rogers dan keyakinan sebagaian besar teori
kepribadian yang lain. Di beri pilihan bebas dan tidak adanya kekuatan
eksternal. Individu lebih memilih untuk menjadi sehat daripada sakit, untuk
menjadi independen dari pada bergantung. Dan secara umum untuk mendorong
pengembangan optimal dari organisme total.
e.
Frame Internal
ReferensiIni
adalah bidang persepsi individu. Ini adalah cara dunia muncul dan sebuah makna
yang melekat pada pengalaman dan melibatkan perasaaan. Dari titik orang
memiliki pusat pandangan. Kerangka acuan internal memberikan pemahamana
sepenuhnya tentang mengapa orang berperilaku seperti yang mereka lakukan. Hal ini harus di
bedakan dari penilaian eksternal perilaku, sikap, dan kepribadian.
f.
Konsep Diri
Istilah–istilah
mengacu pada gesalt, terorganisir konsisten, konseptual terdiri dari persepsi
karakteristik “I” atau “saya” dan persepsi tentang hubungan dari “I” atau “Aku”
kepada orang lain dan berbagai aspek kehidupan, bersama dengan nilai–nilai yang
melekat pada persepsi ini. Menurut Gesalt kesadaran merupakan cairan dan proses
perubahan.
g.
Symbolization
Ini
adalah proses di mana individu menjadi sadar. Ada kecenderungan untuk menolak
simbolisasi untuk pengalaman berbeda dengan konsep dirinya. Misalnya, orang–orang
menganggap dirinya benar akan cenderung menolak simbolisasi tindakan berbohong.
Pengalaman ambigu cenderung di lambangkan dengan cara yang konsisten dengan
konsep diri. Seorang pembicara kurang percaya diri dapat di lambangkan khalayak
diam sebagai terkesan, orang yang percaya diri dapat melambangkan sebuah kelompok
yang penuh perhatian dan tertarik.
h.
Penyesuaian Psikologis &
Ketidakmampuan Menyesuaikan diri
Hal
ini mengacu pada konsistensi, atau kurangnya konsistensi, antara pengalaman
individu sensorik dan konsep diri. Sebuah konsep diri yang mencakup unsur–unsur
kelemahan dan ketidaksempurnaan memfasilitasi simbolisasi dari pengalaman
kegagalan. Kebutuhan untuk menolak atau mendistorsi pengalaman seperti tidak
ada dan karena itu menumbuhkan kondisi penyesuaian psikologis.
i.
Organismic
Valuing Process
Ini
adalah proses yang berkelanjutan di mana individu bebas bergantung pada bukti
indra mereka sendiri untuk membuat penilaian. Hal ini yang berbeda dengan
sistem fixed menilai intrijected di tandai dengan “kewajiban” dan “keharusan”
dan juga dengan apa yang seharusnya benar/salah. Proses menilai organismic
konsisten dengan hipotesis.
j.
The
Fully Functioning Person
Rogers
mendefinisikan mereka yang bergantung pada Organismic valuing process seperti
Fully functioning person. Dapat mengalami semua perasaan mereka, ketakutan, memungkinkan
kesadaran bergerak bebas di dalam pikiran mereka dan melalui pengalaman mereka.
2. Unsur-unsur
terapi
a.
Peran Terapis
Menurut
Rogers, peran terapis bersifat holistik, berakar pada cara mereka berada dan
sikap–sikap mereka, tidak pada teknik–teknik yang di rancang agar klien
melakukan sesuatu. Penelitian menunjukkan bahwa sikap–sikap terapislah yang
memfasilitasi perubahan pada klien dan bukan pengetahuan, teori, atau teknik–teknik
yang mereka miliki. Terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai instrument
perubahan. Fungsi mereka menciptakan iklim terapeutik yang membantu klien untuk
tumbuh. Rogers, juga menulis tentang I-Thou. Terapis menyadari bahasa verbal
dan nonverbal klien dan merefleksikannya kembali. Terapis dan klien tidak tahu
kemana sesi akan terarah dan sasaran apa yang akan di capai. Terapis percaya
bahwa klien akan mengembangkan agenda mengenai apa yang ingin di capainya.
Terapis hanya fasilitator dan kesabaran adalah esensial.
b.
Tujuan Terapis
Rogers
berpendapat bahwa terapis tidak boleh memaksakan tujuan–tujuan atau nilai–nilai
yang di milikinya pada pasien. Fokus dari terapi adalah pasien. Terapi adalah
nondirektif, yakni pasien dan bukan terapis memimpin atau mengarahkan jalannya
terapi. Terapis memantulkan perasaan–perasaan yang di ungkapkan oleh pasien
untuk membantunya berhubungan dengan perasaan–perasaanya yang lebih dalam dan
bagian–bagian dari dirinya yang tidak di akui karena tidak diterima oleh
masyarakat. Terapis memantulkan kembali atau menguraikan dengan kata–kata apa
yang di ungkapkan pasien tanpa memberi penilaian.
3. Teknik-teknik
Untuk terapis person–centered,
kualitas hubungan terapis jauh lebih penting daripada teknik. Rogers, percaya
bahwa ada tiga kondisi yang perlu dan sudah cukup terapi, yaitu :
a.
Empathy,
Empati adalah kemampuan terapis untuk merasakan bersama dengan klien dan
menyampaikan pemahaman ini kembali kepada mereka. Empati adalah usaha untuk
berpikir bersama dan bukan berpikir tentang atau mereka. Rogers mengatakan
bahwa penelitian yang ada makin menunjukkan bahwa empati dalam suatu hubungan
mungkin adalah faktor yang paling berpengaruh dan sudah pasti merupakan salah
satu faktor yang membawa perubahan dan pembelajaran.
b.
Positive
Regard (acceptance), Positive Regard yang di kenal juga
sebagai akseptansi adalah geunine caring
yang mendalam untuk klien sebagai pribadi sangat menghargai klien karena
keberadaannya.
c.
Congruence,
Congruence/Kongruensi adalah kondisi
transparan dalam hubungan tarapeutik dengan tidak memakai topeng atau pulasan–pulasan.
Menurut Rogers perubahan kepribadian yang positif dan signifikan hanya bisa
terjadi di dalam suatu hubungan.
Sumber :
No comments:
Post a Comment